RuhulBurhan.com
BAHAYA NAFSU
Bagian II – Qaseedah Burdah, karya al-Bushiri
Hafidz Abdurrahman
Sungguh Nafsu Marahku Pada Nasehat Tak Terima
Karena Berangkat Dari Ketidaktahuannya
Adanya Peringatan Berupa Uban Di Kepala
Dan Ketidakberdayaan Tubuh Akibat Umur Senja
Nafsu Amarahku Tak Mau Bersiap-Siap Diri
Dengan Mengerjakan Amal Baik Yang Bernilai
Untuk Menyambut Kedatangan Tamu Yang Pasti
Tamu Yang Singgah Di Kepala Nan Tiada Malu Lagi
Jikalau Aku Tahu
Bahwa Diriku Tak Dapat Menghormat Tamu
Maka Lebih Baik Kusembunyikan Diriku
Dengan Cara Menyemir Uban Dikepalaku
Siapakah Gerangan?
Sanggup Mengendalikan Nafsuku Dari Kesesatan
Sebagaimana Kuda Liar Yang Terkendalikan
Dengan Tali Kekangan
Jangan Kau Berharap Waktu Sesaat
Dapat Mematahkan Nafsu Dengan Maksiat
Karena Makanan Justeru Bisa Perkuat
Bagi Si Rakus Makanan Lezat
Nafsu Itu Bagai Bayi
Bila Kau Biarkan Akan Tetap Menyusu Tiada Henti
Namun Bila Kau Sapih Itu Bayi
Maka Ia Akan Berhenti Sendiri
Maka Palingkanlah Nafsumu Dari Kesenangan
Takutlah Jangan Sampai Ia Miliki Kekuasaan
Sesungguhnya Nafsu Jikalau Berkuasa
Maka Akan Membunuhmu Dan Membuatmu Cela
Jagalah Hawa Nafsu
Ia Bagai Ternak Dalam Kebaikan
Jika Ia Merasa Nyaman Dalam Kebaikan Itu
Maka Tetap Jaga Dan Jangan Biarkan
Betapa Banyak Kelezatan
Justeru Bagi Seseorang Membawa Kematian
Karena Tiadanya Pengertian
Bahwa Racun Tersimpan Dalam Makanan
Waspadalah Diri
Terhadap Tipu Dayanya Lapar Dan Kenyang
Sebab Sering Terjadi
Rasa Lapar Lebih Daripada Kenyang
Cucurkanlah Airmata
Dari Kelopak Mata Yang Penuh Noda Dosa
Tetap Dan Pelihara
Rasa Sesal Dan Kecewa
Lawanlah Hawa Nafsu Dan Setan Durjana
Durhakalah Pada Keduanya
Jika Mereka Tulus Menasehati
Maka Engkau Harus Mencurigai
Janganlah Engkau Taat Kepada Mereka Berdua
Baik Selaku Musuh Atau Selaku Hakim
Sebab Engkau Sudah Tahu Dengan Nyata
Bagaimana Tipu Dayanya Musuh Dan Hakim
Kumohon Ampun Kepada Allah
Atas Ucapan Yang Tanpa Amaliah
Sungguh Hal Itu Kusamakan
Dengan Orang Mandul Tak Berketurunan
Engkau Ku Perintah Lakukan Kebaikan
Namun Aku Sendiri Tak Mengerjakan
Maka Tiada Berguna Ucapanku Agar Kau Berlaku Lurus
Sedangkan Diriku Sendiri Tak Lurus
Sebelum Mati Aku Tak Cari Perbekalan
Dengan Mengerjakan Ibadah Yang Disunatkan
Aku Tak Pernah Shalat Dan Puasa
Kecuali Ibadah Wajib Saja
******
Begitulah nafsu. Sungguh tepat apa yang diungkapkan oleh al-Bushiri, bahwa “Nafsu itu bagaikan bayi, bila kau biarkan, akan tetap menyusu tiada henti. Namun, bila kau sapih bayi itu, maka ia akan berhenti sendiri..” maka renungkanlah nasehat al-Bushiri, “Lawanlah hawa nafsu dan setan durjana. Durhakalah pada keduanya, jika mereka tulus menasehati, maka Engkau harus curiga.”
Karena itu, Imam as-Syafii memberikan nasihat:
إِذَا حَارَ أَمْرُكَ فِيْ مَعْــنَيَيْنِ # وَلَمْ تَدْرِ حَيْثُ الْخَطَا وَالصَّوَابِ
فَخَالِفْ هَوَاكَ فَإِنَّ الْهَوَىْ # يَقُوْدُ النُّفُوْسِ إِلَى مَا يُعَـــابُ
Jika Engkau bingung dengan urusanmu di antara dua makna
Engkau tidak tahu, mana yang benar dan salah
Maka, durhakalah pada hawa nafsumu, karena nafsu
Selalu menyeret orang tuk menapaki apa yang tercela
[as-Syafii, Diwan al-Imam as-Syafii, hal. 43]
Begitulah nafsu manusia. Sampai Nabi saw. secara khusus berpesan, agar kita tidak lengah, “Kita telah kembali dari jihad kecil, untuk menyongsong jihad yang lebih besar.” [Ibn Sa’ud, Tafsir Ibn Sa’ud, IV/46]. Jihad yang lebih besar itu tak lain adalah “Peperangan manusia melawan hawa nafsunya.” [Dikeluarkan as-Suyuthi, al-Jami’ as-Shaghir, IV/511]. Pesan ini disampaikan setelah Nabi saw. dan para sahabat kembali dari Perang Tabuk, yang merupakan perang paling sulit, sehingga tentaranya disebut Jaisy al-‘Usrah.
Allah dengan tegas mengingatkan kita:
وَلاَ تَتَّبِعِ الْهَوَى فَيُضِلُّكَ عَنْ سَبِيْلِ اللهِ
“Janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, sehingga dia menyesatkan kamu dari jalan Allah SWT.” [Q.s. Shad: 26]
Iya, perang melawan hawa nafsu memang berat. Karena kecenderungan manusia pada nafsunya, ibarat air yang terus mengalir mencari daerah yang lebih rendah. Untuk mengangkatnya ke atas diperlukan energi dan tenaga. Begitu tutur Ibn al-Jauzi, dalam kitabnya Shaid al-Khathir. Untuk itu, kata al-Mawardi, dibutuhkan akal. Karena akallah yang sanggup mengawal dan memeranginya.
Maka, orang yang akalnya cerdas sanggup menahan pedih dan sakit sesaat, demi meraih kenikmatan abadi, saat menghadap Ilahi Rabbi. Sabda Nabi, “orang yang cerdas adalah orang yang sanggup menundukkan nafsunya, dan berjuang demi apa yang akan diperoleh setelah kematian.” Sebaliknya, kata Nabi, “Orang yang lemah akalnya, adalah yang memperturutkan hawa nafsunya, dan berandai-andai dengan Allah.” [Hr. al-Hakim]
Karena itu, ketika Nabi saw. ditanya seorang pemuda Anshar, “Siapakah orang yang paling cerdas, ya Rasulullah?” Nabi saw. pun menjawab, “Mereka yang paling banyak mengingat kematian, dan mereka yang paling sempurna persiapannya untuk meraih apa akan diperoleh setelahnya [kematian].. Mereka itulah orang yang paling cerdas.” [Hr. Ibn Majjah]
Siapa saja yang banyak mengingat kematian, dan mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya tuk meraih nikmat abadi di akhirat, maka dia tidak akan diperbudak oleh nafsu dan syahwat.
Semoga kita semua termasuk orang-orang yang cerdas, bahkan paling cerdas, sebagaimana yang dititahkan oleh baginda Nabi saw.
Amin ya Rabba al-‘Alamin..